ISTHITO’AH DALAM HAJI



“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS: Ali Imran:97)

 

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP ISTITHA’AH

 

Isthithoáh adalah salah satu syarat dalam Haji dan Umrah oleh karena itu, sebelum kita membahas tentang isthithoáh ada baiknya dulu kita mengetahui apan itu haji dan segala yang berkaitan dengan haji tersebut.

A. HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN HAJI

1. Pengertian Haji dan Umrah


            Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah “al-qashdu” atau “menyengaja”. Sedangkan arti haji dilihat dari segi istilah
(terminology) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu
tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah.

Adapun umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Sedangkan menurut syara’ umrah ialah menziarahi ka’bah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersa’yu
antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut.

 

2. Tujuan Haji dan Umrah

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS: Al- Baqarah :189)

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS: Ali Imran :97)

Jadi ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji.

Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT. Ketika menjalankan ibadah haji, semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia,
dengan beraneka ragam perbedaan berkumpul menjadi satu untuk mengagungkan kebesaran Allah SWT, menyaksikan tempat dimana ayat-ayat suci turun, tempat
para nabi yang siddiq dan orang-orang yang saleh pernah berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.

3. Syarat, Rukun dan Wajib Haji dan Umrah ada 5 perkara, yaitu:

a) Islam

b) Baligh

c) Berakal

d) Orang Merdeka

e) Mampu (Istitha’ah)

 a)Islam, Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu orang-orang kafir tidak mempunyai kewajiban
haji dan umrah. Demikian pula orang yang murtad.

b) Baligh, Anak kecil tidak wajib haji dan umrah. Sebagaimana dikatakan oleh nabi Muhammad SAW: yang artinya “Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak kecil
sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila sampai ia sembuh.

c) Berakal, Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak wajib haji.

d) Merdeka, Budak tidak wajib melakukan ibadah haji karena ia bertugas melakukan kewajiban yang dibebankan oleh tuannya. Padahal menunaikan ibadah haji
memerlukan waktu. Disamping itu budak itu termasuk orang yang tidak mampu dari segi biaya, waktu dan lain-lain.

e) Kemampuan (Isthitho’ah), Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam hal kendaraan, bekal, pengongkosan, dan keamanan di dalam perjalanan. Demikian pula kesehatan badan tentu saja bagi mereka yang dekat dengan makkah dan tempat-tempat sekitarnya yang bersangkut paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah kendaraan tidak menjadi soal. Dengan berjalan kaki pun bias dilakukan. Pengertian mampu, istitha’ah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali, mencakup juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak atau
bahan bakar untuk kendaraan.

             Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni Anar ra. Terdapat percakapan sebagai berikut: yang artinya Rasulullah SAW ditanya: Apa yang
dimaksud jalan (as-sabil, mampu melakukan perjalanan) itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: Yaitu bekal dan kendaraan.

Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fat-Hul Qorib disebutkan: Dan diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan prasarananya) hal mana telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah (cukup) melebihi dari (untuk membayar) hutangnya, dan dari (anggaran) pembiayaan orang-orang, dimana biaya hidupnya menjadi tanggung jawab orang yang hendak pergi haji tersebut.
Selama masa keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah airnya).

Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari (biaya pengadaan)
seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah, dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut).

4. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah

Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan / perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya
salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah. Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut:

  1. Ihram, Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan memakai pakaian ihram.Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua helai kain putih yang tak terjahit dan tidak bersambung semacam sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang Serta satu helai lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup aurat.
    Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian yang menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit) dengan muka dan telapak
    tangan tetap terbuka.
  2. Wukuf di Padang Arafah, Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (kea rah Barat) jatuh pada hari ke-9 bulan dzulhijjah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 dzulhijjah.
  3. Thawaf, Yang dimaksud dengan Thawaf adalah mengelilingi ka’bah sebayak tujuh kali, dimulai dari tempat hajar aswad (batu hitam) tepat pada garis lantai yang
    berwarna coklat, dengan posisi ka’bah berada di sebelah kiri dirinya (kebalikan arah jarum jam).

Macam-macam Thawaf

  1. Thawaf Qudum yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil Haram dari negerinya.
  2. Thawaf Tamattu’ yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari keutamaan (thawaf sunnah)
  3. Thawaf Wada’ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya.
  4. Thawaf Ifadha yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadha merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji.
    1. Sai antara Shafa dan Marwah, Sai adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter. Sai dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail yangmondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya, karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam.
    2. Tahallul, Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya sampai habis (lebih afdol)
    3. Tertib Berurutan

Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf.

5. Wajib Haji dan Umrah

Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji dan umrah tetap sah namun
harus mambayar dam atau denda.

Adapun Wajib-wajib haji adalah

  1. Ihram dari miqat

Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai. Persoalan yang membicarakan
tentang kapan dan dimana ihram tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.

Macam-macam miqat menurut Fah-hul Qarib

1.Miqat zamani (batas waktu) pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat ibadah haji, adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 malam dari bulan dzilhijjah
(hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani) pada konteks untuk niat melaksanakan “Umrah” maka sepanjang tahun itu, waktu untuk
melaksanakan ihram umrah.

2.Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat) untuk dimulainya niat haji bagi hak orang yang bermukim (menetap) di negeri makkah, ialah kota makkah
itu sendiri. Baik orang itu penduduk asli makkah, atau orang perantauan. Adapun bagi orang yang tidak menetap di negeri makkah, maka: Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-syarifah, maka miqatnya ialah berada di (daerah) “Dzul Halifah”

            Maka setelah semuanya jelas kita masuki pada pembahasan kita tentang syarat yang kelima dari Haji dan Umrah yaitu Isthithoáh.

 

B. ARTI ISTHITHOÁH

 

Allah Swt berfirman : Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah Swt adalah mengerjakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu. (QS. Ali Imran : 97)

Ayat di atas menginformasikan kepada kita, bahwa salah satu kewajiban umat Islam adalah mengerjakan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu (istithâ’ah), baik fisik maupun materi dan aman dalam perjalanan.

Istitha’ah dalam pengertian kebahasaan berasal dari akar kata tâ’a, yaitu tau’an, berarti taat patuh dan tunduk. Istithâ’ah berarti keadaan seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan syara’ sesuai dengan kondisinya. Semakin besar kemmapuan seseorang semakin besar tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Sebagai contoh adalah kifarat sumpah bagi yang melanggarnya, memberi makan 10 orang miskin, bagi yang mempunyai kemampuan lebih dari itu memberi pakaiannya, atau bagi orang yang sudah mapan dan berkecukupan dianjurkan untuk memerdekakan hamba. Jika 1 diantara 3 hal tersebut tidak juga mampu, kewajiban yang terendah adalah puasa selama 3 hari (lihat Alquran surat Al-Maidah : 89).

Namun demikian, Allah tidak memberatkan dan tidak menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu di luar kemampuannya. Sejalan dengan hal itu, Allah Swt berfirman : Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286).

Maka dalam kondisi demikian, sangat diperhatikan i’tikad baik seseorang dalam melaksanakan perintah Allah Swt sesuai kadar ketaqwaannya. Allah Swt berfirman : Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupannya. (QS. At-Talaq : 16)

Oleh sebab itu, kajian istithâ’ah dalam Fikih Islam menjadi penting karena sangat menentukan sejauhmana seseorang dibebankan kewajiban dalam melaksanakan perintah Allah Swt, berbeda dalam hal meninggalkan larangan, tidak dikaitkan dengan istithâ’ah. Dengan kata lain, apabila diperintahkan untuk melaksanakan sesuatu, laksanakanlah sesuai dengan kemampuan. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk meninggalkan sesuatu, tinggalkanlah segera tanpa memandang kepada kemampuan (istithâ’ah).

Kajian tentang istithâ’ah dibahas hampir ke semua furu’ (cabang) ibadah, pada masalah shalat, puasa, kifarat, nikah dan lain-lain. Akan tetapi yang lebih rinci dibicarakan adalah istithâ’ah dalam ibadah haji. Hal itu disebabkan karena dalam persoalan haji menghimpun dua kemampuan, kemampuan fisik dan materi sekaligus.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasan istithâ’ah. Secara umum mereka memahami istithâ’ah di dalam surat Ali Imran ayat 97 di atas adalah, kemampuan seseorang untuk dapat sampai ke Mekah dan menunaikan haji seperti kemampuan jasmani, biaya dan keamanan dalam perjalanan sesuai dengan penjelasan Nabi Saw ketika ditanya oleh para sahabat Nabi Saw pengertian “sabila” dalam ayat di atas, Rasul Saw bersabda : Azzaad warrahilah, maksudnya perbekalan dan kendaraan. (HR. Dar-quthni)

Berdasarkan pemahaman di atas, mazhab Syafii tidak mensyaratkan kendaraan bagi orang yang menetap tidak mencapai jarak mengqasar shalat yaitu 89 km dari kota Mekah. Dengan kata lain, mereka diwajibkan menunaikan haji meskipun dengan berjalan kaki. Istithâ’ah dalam ibadah haji mempunyai pengertian lebih luas dibanding istithâ’ah di dalam ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa, dan lain-lain.

Masyarakat Banjarpun pada khususnya mengartikan kata Isthithoáh tersebut berdasarkan apa yang dikatakan Imam Syafií, karena rata-rata masyarakat Banjar bermazhab pada Imam Syafií.

Para ulama Banjar berdasarkan kitab Sabilal Muhatadin karangan Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjary menjelaskan makna istithâ’ah mencakup dalam beberapa hal, antara lain ;

a. Istithâ’ah harta yaitu adanya perbekalan untuk membayar Ongkos Naik Haji (ONH) pergi dan pulang serta biaya hidup, tempat tinggal, makanan dan minuman yang cukup. Orang yang berangkat haji dengan cara meminta-minta dan mengajukan proposal untuk mendapatkan ongkos haji atau meminta jatah dari pemerintah atau dari instansi tertentu. Sebenarnya belum ada kewajiban haji bagi mereka. Namun demikian, bila haji dilaksanakan dengan biaya pemberian orang lain, hajinya tetap sah dan sudah dianggap melaksanakan rukun Islam yang kelima.

Berangkat haji dengan pemberian atau hadiah orang lain boleh diterima, namun tidak wajib menerimanya apalagi bila diketahui bahwa biaya yang diberikan bersumber dari yang haram, misalnya seorang koruptor menghajikan karyawannya atau hasil dari perjudian dan minuman keras atau hasil pajak judi dan perzinahan dan lain-lain, maka sebaiknya dia tidak menerima pemberian tersebut dan tidak boleh berangkat dengan uang yang haram.

Oleh sebab itu seorang koruptor tidak wajib melaksanakan haji sebelum dia mengembalikan harta hasil korupsinya kepada pemiliknya, karena haqqul ibadah (hak manusia) berdasarkan pada perjanjian (kompromi) sedangkan haji adalah hak Allah Swt berdasarkan pada toleransi. Oleh sebab itu hendaklah mendahulukan hak manusia dari hak Allah karena Alah Maha Mulia lagi Maha Pemaaf.

Diriwayatkan dalam beberapa hadis bahwa ketika orang yang berangkat haji dengan harta yang halal berkata Labbaik Allahumma labbaik (Ya Allah kami datang menjawab panggilan-Mu, maka Allah menjawab : Allah menerima permohonan-Mu dan Allah memuliakan-Mu. Sedangkan ketika orang yang berhaji dengan harta yang haram ketika berteriak dengan ucapan Labbaik Allahumma labbaik, Allah berkata kepadanya : Allah tidak menjawab permohonanmu dan tidak pula memuliakanmu dan hajimu dikembalikan kepadamu, kembalilah dengan membawa dosa dan tanpa pahala.

b. Istithâ’ah dalam kesehatan. Kemampuan fisik salah satu syarat wajib mengerjakan haji karena pekerjaan ibadah haji berkaitan dengan kemampuan badaniah, hampir semua rukun dan wajib haji berkaitan erat dengan kemampuan fisik, terkecuali niat (adalah rukun qalbi). Dalam hal ini seorang yang buta atau seorang yang bodoh (safih) atau idiot jika mempunyai kemampuan harta, maka syarat wajib haji baginya ada pemandu atau penuntun yang membimbing pelaksanaan hajinya.

Dan bagi seorang Lansia (lanjut usia) yang tidak mempunyai kemampuan untuk duduk lama di dalam kendaraan atau di perjalanan, boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain. Diriwayatkan dalam hadis shahih dari Jamaah dari Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang perempuan dari Khatsam berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku punya kemampuan harta untuk mengerjakan haji, namun dia sudah tua renta, tidak mampu duduk lama di dalam kendaraan (di atas unta), maka Rasulullah Saw bersabda : Hajikanlah dia, dan peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah pada Haji Wada’.

Berdasarkan hadis ini, kemampuan fisik sangat menentukan dan tidak melihat kepada umur. Oleh sebab itu rencana Kerajaan Arab Saudi untuk memberlakukan batas umur 65 tahun tidak boleh haji, belum layak untuk diberlakukan, karena ada sebagian orang meskipun umur sudah lebih 65 tahun, akan tetapi masih mempunyai kemampuan fisik untuk berhaji.

c. Kemampuan (istithâ’ah) untuk mendapatkan kendaraan atau alat transportasi sama ada dengan menyewa atau membeli tiketnya merupakan syarat wajib haji. Jika seseorang sudah mendapatkan visa haji akan tetapi tidak ada tiket pesawat reguler atau carter yang membawanya ke haji, maka kewajibannya telah gugur, dan demikian pula bagi seorang wanita yang berangkat tanpa muhrim/mahram, maka belum wajib melaksanakan ibadah haji. Rasul Saw bersabda : Wanita tidak boleh bepergian lebih dari dua hari kecuali ditemani suami atau mahramnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Persoalan mahram ini, Kerajaan Arab Saudi telah memberi kemudahan bagi wanita usia lanjut dan berombongan, tidak disyaratkan mahram untuk mendapatkan visa haji dan umrah.

Perlukah Berhutang Untuk Mengerjakan Ibadah Haji?


            Antara tuntutan agama Islam yang wajib ditunaikan ialah ibadat haji. Ibadat haji merupakan salah satu daripada rukun Islam. Ia wajib ditunaikan oleh orang Islam yang mukallaf yang memenuhi syarat-syaratnya yang tertentu sekali dalam hidupnya.


C. SYARAT WAJIB HAJI


            Menurut para ulama, syarat-syarat wajib haji itu termasuk juga umrah ialah; Islam, baligh, berakal, merdeka dan istitha’ah.

            Apakah yang dimaksudkan istitha’ah di sini? Istitha’ah membawa maksud berkuasa atau berkemampuan untuk menunaikan haji. Ini dijelaskan dalam al-Qur’an, firman Allah Subahanahu wa Ta’ala:

                                                                                               
 

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا                        


Tafsirnya:

“Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan haji ke Baitullah bagi sesiapa yang mampu dan berkuasa sampai kepadanya.”

(Surah ‘Ali ‘Imran: 97)


Ayat di atas menjelaskan bahawa haji diwajibkan ke atas orang yang berkuasa atau berkemampuan untuk mengerjakannya.


Istitha’ah sebagai syarat wajib menunaikan haji itu terbahagi kepada dua bahagian:


Pertama: Istitha’ah mubasyarah binafsihi iaitu mampu mengerjakan sendiri ibadat haji dengan adanya kemampuan dari segi harta dan fizikal.


Kedua: Istitha’ah bighairihi iaitu mampu mengerjakan ibadat haji dengan perantaraan orang lain kerana kemampuannya untuk mengerjakan ibadat haji dari segi harta sahaja, seperti orang yang wajib ke atasnya haji sebelum dia meninggal dunia, maka wajib ditunaikan haji bagi pihak dirinya dengan harta peninggalannya atau orang terlalu tua atau orang sakit yang tidak berupaya mengerjakan hajinya kecuali dengan mengupah orang lain untuk mengerjakan haji bagi pihak dirinya.


Syarat Istitha’ah Mubasyarah Binafsihi


            Orang yang mampu mengerjakan sendiri ibadat haji kerana kemampuannya dari segi harta dan fizikal terikat dengan beberapa syarat, yaitu:

  1. Mempunyai perbelanjaan atau bekalan yang mencukupi untuk dirinya ketika dalam perjalan pergi dan balik dan sewaktu dia melaksanakan ibadat haji, serta perbelanjaan sara hidup bagi orang yang diwajibkan ke atasnya menanggung nafkahnya semasa dalam pelayarannya.
  2. Terdapat kenderaan untuk perjalanannya umpamanya kapal terbang, kapal laut, bas dan sebagainya, sama ada miliknya sendiri ataupun disewa dengan kadar sewaan, Syarat ini adalah bagi orang-orang yang tinggal sejauh dua marhalah atau lebih dari Makkah al-Mukarramah iaitu jarak perjalanan yang membolehkan diqasharkan sembahyang.Kedua-dua syarat di atas ada disebutkan dalam hadits Baginda Shallallahu ‘alahi wasallam daripada Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma katanya: Maksudnya: “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah dia syarat yang mewajibkan haji itu?” Baginda bersabda: “Bekalan dan kenderaan.” (Hadits riwayat at-Tirmidzi).
  3. Hendaklah aman dan selamat dalam perjalannya daripada bahaya, seperti binatang buas ataupun musuh. Perkara ini bukan sahaja ke atas dirinya tetapi juga ke atas hartanya, kehormatannya dan juga keselamatan orang-orang yang bersamanya.
  4. Sehat tubuh badan dan tidak menghadapi kepayahan atau kesukaran yang tidak dapat ditanggung menurut kebiasaannya dalam perjalanan umpamanya kerana tua atau sakit.
  5. Mempunyai kesempatan dan masa bagi mengerjakan fardhu haji. Maksudnya ialah seseorang itu memenuhi syarat-syarat wajib haji pada ketika itu mempunyai masa yang mencukupi untuk membuat urusan dan melakukan perjalanan bagi mengerjakan fardhu haji.
  6. Bagi perempuan, hendaklah ditemani oleh suaminya atau mahramnya atau perempuan-perempuan yang boleh dipercayai berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam:

    Maksudnya: “Janganlah seorang perempuan belayar bagi kecuali bersamanya suaminya atau mahramnya.” (Hadits riwayat Muslim) Maka jika salah satu daripada syarat-syarat istitha’ah tersebut tidak dipenuhi, maka tidaklah diwajibkan ke atas seseorang itu untuk mengerjakan ibadat haji.


D. MENGERJAKAN HAJI DENGAN BERHUTANG

Islam telah menetapkan bahawa ibadat haji tidak wajib ke atas orang yang tidak berharta. Islam juga telah menetapkan bahawa orang yang tidak berharta adalah tidak diwajibkan berhutang untuk mengerjakan ibadat haji.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan daripada ‘Abdullah bin Abu Awfa Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

Maksudnya:

“Aku pernah bertanya kepadanya (Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam) tentang seorang lelaki yang belum lagi menunaikan haji, “Adakah dia perlu berhutang untuk menunaikan haji itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: Tidak.”Begitu juga dalam sebuah atsar yang diriwayatkan daripada Thariq Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

Maksudnya:

“Aku pernah mendengar anak Abu Awfa (salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam) ditanya berkenaan seorang lelaki yang mahu berhutang dan mengerjakan haji (dengan hutangnya itu), beliau berkata: Mohonlah rezeki kepada Allah dan jangan berhutang.”
(Hadits riwayat al-Baihaqi)

Dalam hal ini juga, Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala ada menyebutkan dalam kitab beliau al-Majmu’:

Artinya:

“Apabila sudah tidak wajib (haji itu) ke atas orang yang memang sedia ada hutangnya kerana hutangnya itu, maka tidak wajib berhutang (untuk pergi haji) itu adalah lebih awla (utama) lagi.”

Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala berkata lagi:

Artinya:

“Telah berkata ulama-ulama asy-Syafi’eyyah: Sekiranya orang yang memberi hutang itu setuju hutang itu dibayar kemudian sehingga (orang yang berhutang itu) pulang dari mengerjakan haji, ibadat haji itu masih tidak wajib ke atas orang yang berhutang itu tanpa ada percanggahan pendapat.”

Oleh itu, tidak dituntut dalam Islam menunaikan ibadat haji dengan berhutang, kerana pada dasarnya orang yang berhutang dan orang yang mempunyai hutang dianggap sebagai orang yang belum mempunyai kemampuan (istitha’ah) untuk mengerjakan haji. Islam Tidak Menggalakkan Berhutang Untuk Mengerjakan Ibadat Haji Islam adalah agama yang mudah dan tidak menyusahkan. Ini dijelaskan dalam al-Qur’an sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 “Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan tidak menghendaki kamu menanggung kesusahan.”

(Surah al-Baqarah:185)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala lagi:

                       
 

لا يكلف الله نفسا الا وسعها (البقره)                            


Tafsirnya:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan apa yang terdaya olehnya.” (Surah al-Baqarah: 286)

Dalam konteks ini, jika sekiranya syarat-syarat wajib haji tidak dapat dipenuhi oleh seseorang, maka tidaklah wajib baginya pergi mengerjakan haji, walaupun haji itu salah satu daripada rukun Islam yang lima. Berhutang kerana tujuan tersebut adalah suatu perkara yang tidak dituntut oleh agama, kerana berhutang sangat membebankan dan boleh membawa akibat yang buruk seperti berlakumya kesusahan dan mengandungi risiko yang tinggi bukan sahaja di dunia bahkan juga di akhirat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ada menyebutkan tentang orang yang berhutang dengan sabda Baginda:

Maksudnya:

“Dan jauhkanlah diri kamu daripada hutang, kerana sesungguhnya (hutang itu) awalnya adalah dukacita dan akhirnya pula mengambil harta orang dengan tiada mengembalikannya.”

(Hadits riwayat Malik)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lagi:

Maksudnya:

“Roh seseorang mukmin itu tergantung-gantung kerana hutangnya (yang belum dibayar) sehinggalah hutangnya itu dibayar.”

(Hadits riwayat at-Tirmidzi)

Kedudukan Haji Orang Yang Berhutang

Walau bagaimanapun, sekiranya orang yang berhutang itu mengerjakan haji juga dengan duit yang dipinjamnya, maka ibadat haji yang dikerjakannya itu sah sebagai haji fardhu dalam Islam.

Apabila suatu hari nanti, jika dia sudah berkemampuan untuk mengerjakan haji, maka dia tidak lagi diwajibkan atau dituntut untuk mengerjakannya.

Ini jelas disebut oleh Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala:

Artinya:

“Adapun untuk dikira haji yang dikerjakan itu menjadi haji Islam (haji fardhu), maka syaratnya ada empat perkara Yaitu;

1. Islam,

2. Berakal,

3. Merdeka dan

4. Baligh.

Jika seorang fakir berusaha dengan bersusah payah (untuk mendapatkan perbelanjaan bagi tujuan) mengerjakan haji, maka haji itu menjadi haji Islam.”

Beliau berkata lagi dalam kitabnya Minhaj ath-Thalibin:

Artinya:

“Maka memadailah (sah) haji seorang yang fakir (yang berusaha dengan bersusah payah untuk mendapatkan perbelanjaan mengerjakan haji).”

Begitu juga asy-Syeikh al-Khathib asy-Syarbini Rahimahullahu Ta’ala ketika mensyarahkan perkataan Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala di atas dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj,

beliau berkata:

Artinya:

“(Dan begitu juga memadai (sah) haji yang dilakukan oleh) setiap orang yang tidak berkemampuan apabila terkumpul (dua syarat) iaitu merdeka dan taklif (berakal dan baligh).”

Sebagai kesimpulan, orang yang tiada kemampuan dari segi keuangan, tidaklah perlu ia menyusahkan dirinya dengan berhutang untuk mengerjakan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam, apatah lagi bagi orang yang sudah mengerjakan haji atau umrah.

 

An Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa seorang wanita dinilai wajib menunaikan haji dalam Islam jika ia telah berkemampuan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Mengenai kemampuan di sini sebenarnya sama halnya dengan pria. Namun para ulama berselisih pendapat apakah pada wanita disyaratkan harus adanya mahrom ataukah tidak.”

E. KHILAF ULAMA TENTANG ISTHITHOÁH

Berikut adalah beberapa pendapat para ulama mengenai hukum berhaji tanpa mahrom.

Disyaratkan seorang wanita dalam safar hajinya untuk ditemani oleh suami atau mahromnya jika memang ia telah menempuh jarak safar ke Makkah selama tiga hari. Jarak seperti ini adalah jarak minimal untuk dikatakan bersafar, demikian pendapat ulama Hanafiyah dan Hambali.

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)

Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah membolehkan mahrom tersebut diganti. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika ada para wanita yang tsiqoh–dua atau lebih–yang memberikan rasa aman, maka ini cukup sebagai pengganti mahrom atau suami. Hal ini ditinjau jika wanita tersebut sudah dikenai kewajiban untuk berhaji dalam Islam. Menurut mereka, “Yang paling tepat, tidak disyaratkan adanya mahrom bagi para wanita tersebut (yang akan berhaji). Sudah cukup sebenarnya jika sudah ada jama’ah yang jumlahnya banyak.”

Namun jika didapati satu wanita tsiqoh, maka tidak wajib bagi mereka untuk berhaji (yang selain wajib). Akan tetapi boleh baginya berhaji jika hajinya adalah haji fardhu (wajib) atau haji nadzar. Bahkan boleh baginya keluar sendirian untuk menunaikan haji yang wajib atau untuk menunaikan nadzar, selama aman.

Ulama Malikiyah menambahkan yang intinya membolehkan. Mereka mengatakan bahwa jika wanita tidak mendapati mahrom atau tidak mendapati pasangan (suami untuk menemaninya), walaupun itu memperolehnya dengan upah, maka ia boleh bersafar untuk haji yang wajib atau haji dalam rangka nadzar selama bersama orang-orang (dari para wanita atau para pria yang sholih) yang memberikan rasa aman.

Ad Dasuqi (sala seorang ulama Malikiyah) berkata bahwa kebanyakan ulama Malikiyah mempersyaratkan wanita harus disertai mahrom.

Adapun haji yang sunnah para ulama sepakat bahwa tidak boleh seorang wanita bersafar untuk haji kecuali bersama suami atau mahromnya. Untuk haji yang sunnah tidak boleh ia bersafar dengan selain mahromnya, bahkan ia bisa terjerumus dalam dosa jika nekad melakukannya.

Demikian kami sarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah.

Terdapat tambahan dari penjelasan An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim. An Nawawi berkata, “‘Atho’, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Imam Malik Al Auza’i dan pendapat Imam Asy Syafi’i yang masyhur berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya mahrom. Yang disyaratkan adalah si wanita mendapatkan rasa aman. Ulama Syafi’iyah menerangkan bahwa rasa aman tersebut bisa tercapai dengan adanya suami, mahrom atau wanita-wanita yang tsiqoh (terpercaya). Haji tidaklah diwajikan menurut madzhab kami kecuali dengan ada rasa aman dari salah satu hal tadi. Jika didapati satu wanita tsiqoh saja, maka haji tidak menjadi wajib. Akan tetapi wanita yang akan berhaji boleh bersafar dengan wanita lain walaupun bersendirian. Ini yang tepat. …

Pendapat yang masyhur dari Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah adalah pendapat di atas. Ulama Syafi’iyah kemudian berselisih pendapat mengenai hukum wanita berhaji yang sunnah tanpa adanya mahrom atau untuk safar dengan tujuan ziaroh atau berdagang atau semacam itu yang tidak wajib. Sebagian ulama Syafi’iyah katakan bahwa hal-hal yang tidak wajib tadi dibolehkan sebagaimana haji (yang wajib). Namun pendapat mayoritas ulama, “Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali dengan suami atau mahromnya. Inilah yang tepat karena didukung oleh hadits-hadits yang shahih.

Titik Beda Pendapat

Al Qurthubi rahimahullah berkata,

Sebab perselisihan ulama dalam masalah ini adalah karena adanya pemahaman yang berbeda dalam menkompromikan berbagai hadits (yang melarang bersafar tanpa mahrom, pen) dengan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Secara zhohir, yang dimaksud istitho’ah (dikatakan mampu dalam haji) adalah mampu pada badan (fisik).  Jadi jika secara fisik mampu, maka diwajibkan untuk haji. Barangsiapa yang tidak mendapati mahrom namun ia sudah memiliki kemampuan secara fisik, maka ia tetap diwajibkan untuk haji. Dari sini, ketika terjadi pertentangan antara tesktual ayat dan hadits, maka muncullah beda pendapat di antara para ulama.

Imam Abu Hanifah dan para ulama yang sependapat dengannya menjadikan hadits (tentang larangan safar wanita tanpa mahrom) sebagai penjelas dari dalil yang menjelaskan istitho’ah (kemampuan) pada hak wanita.

Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istitho’ah (kemampuan) yang dimaksudkan adalah bisa dengan cukup wanita tersebut mendapatkan rasa aman dari para pria atau wanita lainnya. Sedangkan hadits (yang melarang wanita bersafar tanpa mahrom) tidaklah bertentangan jika memang safarnya adalah wajib (untuk menunaikan haji yang wajib, pen).

Demikian sarian dari penjelasan Al Qurthubi rahimahullah.

Intinya dari penjelasan Al Qurthubi rahimahullah, ada perbedaan dalam memahami dua dalil berikut. Dalil pertama tentang istitho’ah (kemampuan dalam berhaji).

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imron: 97).

Dalil kedua adalah tentang larangan bersafar tanpa mahram.

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Tidak boleh seorang wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)

Jadi ada ulama yang katakan bahwa ia tetap berangkat haji meskipun hanya mendapatkan rasa aman saja dengan ditemani para pria sholeh atau wanita yang tsiqoh (terpercaya). Karena para ulama yang berpendapat demikian menilai hajinya tetap ditunaikan, jika memang hajinya itu wajib. Sedangkan larangan untuk bersafar tanpa mahrom dinilai sebagai saddu dzari’ah, yaitu larangan yang bukan tertuju pada dzatnya akan tetapi terlarang karena dapat mengantarkan pada sesuatu yang terlarang. Dan mereka punya kaedah fiqh (yang tentu ini dibangun di atas dalil), “Sesuatu yang terlarang karena saddu dzari’ah dibolehkan jika dalam keadaan hajjah (butuh).” Dan mereka menganggap bahwa kondisi haji yang sudah wajib dilihat dari segi finansial dan fisik ini tetap dikatakan wajib meskipun akhirnya berangkatnya tanpa mahrom dan ditemani dengan para pria atau para wanita lain yang tsiqoh.

Sedangkan ulama yang menganggap tetap harus dengan mahrom—seperti pendapat ulama Hanafiyah dan ulama Hambali–, menyatakan bahwa mahrom itu sebagai syarat istitho’ah karena mereka menyatakan ayat yang membicarakan tentang istitho’ah (kemampuan) dalam berhaji dijelaskan dengan hadits larangan bersafar tanpa mahrom.

F. RIWAYAT HAJI TANPA MAHROM

Disebutkan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla,

Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang wanita boleh berhaji jika ia ditemani oleh orang-orang yang memberikan rasa aman, meskipun wanita tersebut kala itu tidak ditemani suami dan tidak ditemani mahromnya. Sebagaimana kami riwayatkan dari jalan Ibnu Abi Syaibah, ia berkata bahwa Waki’, dari Yunus (Ibnu Yazid), dari Zuhri, ia berkata, “Ada yang menanyakan pada ‘Aisyah—Ummul Mukminin—wanita, apakah betul seorang wanita tidak boleh bersafar kecuali dengan mahromnya?” ‘Aisyah menjawab,

ليس كل النساء تجد محرما

“Tidak setiap wanita memiliki mahrom.”

Dari jalur Sa’id bin Manshur, ia berkata bahwa Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Bukair bin Asyja’, dari Nafi’ (bekas budak Ibnu ‘Umar), beliau berkata,

كان يسافر مع عبد الله بن عمر موليات (له) (1) ليس معهن محرم،

Para bekas budak wanita milik ‘Abdullah bin ‘Umar pernah bersafar bersama beliau dan tidak ada bersama mereka mahrom.

Pendapat di atas juga menjadi pendapat Ibnu Sirin, ‘Atho’, nampak dari pendapat Az Zuhri, Qotadah, Al Hakam bin ‘Utaibah, ini juga menjadi pendapat Al Auza’i, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Abu Sulaiman dan beberapa sahabat.

Ibnu Hazm rahimahullah pun memberikan sanggahan terhadap pendapat Imam Abu Hanifah (yang mensyaratkan wanita harus berhaji dengan mahrom). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun pendapat Imam Abu Hanifah dalam penentuan yang kami sebutkan (tidak boleh bersafar lebih dari tiga hari kecuali bersama mahrom), maka pendapat ini tidak diketahui adanya salaf dari para sahabat yang berpendapat seperti itu, tidak pula diketahui adanya pendapat tabi’in. Bahkan kami tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat sebelum mereka seperti itu.”

Pentarjihan Pendapat

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wanita tidak wajib bersafar untuk haji dan tidak boleh ia melakukannya kecuali jika bersama suami atau mahromnya.”

Lalu Ibnu Taimiyah membawakan di antara dalilnya sebagai berikut:

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Seorang wanita tidak boleh bersafar lebih dari tiga hari kecuali bersama dengan mahromnya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا »

Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat[8] (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Setelah membawakan dalil-dalil tersebut, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahrom. Dan dalil-dalil tersebut tidak menyatakan satu safar pun sebagai pengecualian. Padahal safar untuk berhaji sudah masyhur dan sudah  seringkali dilakukan. Sehingga tidak boleh kita menyatakan ini ada pengecualian dengan niat tanpa ada lafazh (pendukung). Bahkan para sahabat, di antara mereka memasukkan safar haji dalam hadits-hadits larangan tersebut. Karena ada seseorang yang pernah menanyakan mengenai safar haji tanpa mahrom, ditegaskan tetap terlarang.”

Intinya, sejak dulu masalah ini ada silang pendapat karena beda dalam memahami dalil. Sehingga yang lebih kuat adalah yang lebih merujuk pada dalil. Alasan Ibnu Taimiyah ini lebih memuaskan karena didukung langsung oleh hadits yang shahih. Pendapat Ibnu Hazm cukup disanggah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah di atas. Jadi, pendapat yang  menyatakan terlarangnya haji tanpa mahrom itu yang lebih kuat.

Dukungan dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimaha

Komisi Fatwa di Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, “Seorang wanita shalihah setengah usia atau mendekati tua di Saba’ ingin haji dan tidak mempunyai mahram. Tapi di daerahnya ada seorang lelaki yang sholeh yang ingin haji bersama beberapa wanita dari mahramnya. Apakah wanita tersebut sah hajinya jika pergi bersama seorang lelaki sholeh yang pergi bersama beberapa wanita mahramnya dan lelaki tersebut sebagai pembimbingnya? Ataukah dia gugur dari kewajiban haji karena tidak ada mahram yang mendampingi padahal dia telah mampu dari sisi materi? Mohon fatwa tentang hal tersebut, sebab kami berselisih dengan sebagian kawan kami dalam hal tersebut.”

Jawaban:

Wanita yang tidak mempunyai mahram yang mendampingi dalam haji maka dia tidak wajib haji. Sebab mahram bagi seorang wanita merupakan istitho’ah (bentuk kemampuan) dalam melakukan perjalanan haji. Sedangkan kemampuan melakukan perjalanan merupakan syarat dalam haji. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

 Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. ‘Ali Imran : 97)

Seorang wanita tidak boleh pergi haji atau lainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan (berkhalwat) dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.” Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Pergilah kamu haji bersama isterimu.

Demikian ini adalah pendapat Hasan Al Bashri, An Nakho’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ahli Ra’yi (madzhab Abu Hanifah). Pendapat ini adalah pendapat yang lebih tepat karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita bepergian tanpa suami atau mahramnya. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Al-Auza’i. Di mana mereka menyebutkan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnul Mundzir berkata, “Mereka meninggalkan pendapat yang begitu nampak jelas pada hadits. Masing-masing mereka menyebutkan syarat yang tidak bisa dijadikan hujjah“.

 

PENUTUP

KESIMPULAN

Istitha’ah dalam pengertian kebahasaan berasal dari akar kata tâ’a, yaitu tau’an, berarti taat patuh dan tunduk. Istithâ’ah berarti keadaan seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan syara’ sesuai dengan kondisinya. Semakin besar kemmapuan seseorang semakin besar tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Sebagai contoh adalah kifarat sumpah bagi yang melanggarnya, memberi makan 10 orang miskin, bagi yang mempunyai kemampuan lebih dari itu memberi pakaiannya, atau bagi orang yang sudah mapan dan berkecukupan dianjurkan untuk memerdekakan hamba. Jika 1 diantara 3 hal tersebut tidak juga mampu, kewajiban yang terendah adalah puasa selama 3 hari (lihat Alquran surat Al-Maidah : 89).

Isthithoáh adalah salah satu syarat mutlak dalam pelaksanaan Haji dan Umrah,banyak pengertian isthithoáh ini dikarenakan banyaknya pendapat imam fiqih yang berbeda pendapat sebut saja imam Syafií, imam Malik, imam Hanafi, imam Hambali, mereka berempat saling berbeda pendapat tentang isthithoáh ini.

Maka dari itu para ulama mazhab  berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasan istithâ’ah. Secara umum mereka memahami istithâ’ah di dalam surat Ali Imran ayat 97 adalah, kemampuan seseorang untuk dapat sampai ke Mekah dan menunaikan haji seperti kemampuan jasmani, biaya dan keamanan dalam perjalanan sesuai dengan penjelasan Nabi Saw ketika ditanya oleh para sahabat Nabi Saw pengertian “sabila” dalam ayat di atas, Rasul Saw bersabda : Azzaad warrahilah, maksudnya perbekalan dan kendaraan. (HR. Dar-quthni)

 

 


 

By pendulangan Posted in Fikih

Leave a comment